Hi!
Sejak aktif berkerja di kantor dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore, saya jadi sering duduk diam di belakang setir mobil, sambil menunggu lampu merah menjadi lampu hijau, saya disajikan papan LED dengan konten iklan berbagai macam produk, kebanyakan adalah produk skincare dari start up lokal. Selain dari billboard dan LED di jalan – jalan Jakarta, salah satu tempat yang paling dekat menyajikan promosi produk adalah marketplace.
Semakin banyak aplikasi marketplace yang ada di HP, maka semakin banyak kesempatan untuk ‘window shopping’ produk – produk yang ada di showcase mereka. Terutama berbagai macam promo Flash sale, Kejar diskon, tanggal kembar, cashback dan paling gawat : Gratis Ongkir.
Kemudahan membeli dan mendapatkan barang impian juga semakin lengkap dengan adanya berbagai macam cara pembayaran, ada tunai, transfer bank, cicilan atau bahkan (yang menurut saya paling bahaya) Paylater. Suatu hari suami saya bercerita, bahwa teman kantornya tiba – tiba ada tagihan belanja sebesar 3 juta yang ternyata itu adalah belanjaan sang istri di rumah, yang checkout dari marketplace dengan pembayaran paylater.
Tidak dipungkiri bahwa kehadiran promosi, iklan dan influencer haul, membuat kita, masyarakat jadi tahu berbagai macam produk yang ada di pasar. Apalagi influencer, yang suka bikin iming – iming produk, yang sebetulnya kita gak butuh, eh jadi beli hanya gara – gara mereka, para pesohor yang kita ‘follow’ ini pakai juga (padahal kan dibayar buat iklan doang).
Kita, masyarakat dibombardir dengan berbagai macam promosi yang bertujuan meningkatkan transaksi terhadap barang – barang baru terus menerus, seolah kepuasan atau kebahagiaan kita akan tercapai ketika kita memiki barang baru. Entah butuh atau tidak, penting atau remeh. Sehingga tanpa sadar kita masuk dalam budaya konsumerisme.
Konsumerisme yang mau saya bahas adalah tentang paham atau gaya hidup yang menganggap barang – barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya; gaya hidup tidak hemat (source : Kamus Besar Bahaa Indonesia)
Suatu hari, seorang teman berkata pada saya, bahwa gaji suaminya sebetulnya cukup untuk biaya hidup sekeluarga dengan tiga anak, namun hidupnya (terpaksa) sederhana, dan teman saya ini bilang kalau dia tidak bisa hidup sederhana, itulah sebabnya dia pilih bekerja kantoran supaya tetap bisa membiayai gaya hidupnya yang dihiasi luxury brand.
Entah mengapa, saya mempunyai pandangan, bahwa memiliki dan memakai barang mewah bukanlah penanda status ekonomi dan tingkat kesejahteraan seseorang. Begitu pula sebaliknya, bisa jadi orang yang berpenampilan sederhana, tinggal di rumah yang tidak terlalu luas, justru mengadopsi gaya hidup yang berkelanjutan, baik untuk keluarganya maupun untuk lingkungan hidup di masa mendatang.
Berikut adalah beberapa cara, bagaimana supaya kita bisa konsisten hidup sederhana dan berkesadaran di tengah budaya konsumerisme :
1. Stop Comparing
Berhenti membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain yang tampak sempurna di feed Instagram. Bisa jadi ini adalah cara paling efektif untuk memangkas budaya konsumerisme. Rasa insecure karena membandingkan diri kita dengan orang lain, adalah salah satu pemicu mengapa kita tidak pernah puas dengan apa yang sudah kita miliki. Masyarakat kita saat ini, seolah mempunyai standart kualitas kehidupan tertentu yang disajikan oleh influencer di media sosial. Padahal, dibalik lensa foto – foto mereka itu, ceritanya tidak seindah hasil fotonya.
2. Batasi Pengaruh Negatif
Jika ‘stop comparing’ adalah cara paling afdol untuk tidak terbawa arus konsumerisme, maka kita perlu membatasi interaksi dengan bad influence, seperti misalnya Social Media. Yup! Oh noo... i can’t live without social media. Tidak perlu langsung putus hubungan begitu saja, namun kita bisa melakukan sedikit modifikasi. Misalnya : yang semula kita follow akun penggoda dompet yaitu akun para influencer atau haul – haul yang bikin kita kepo mau beli barang viral, kita ganti dengan follow akun yang memberikan inspirasi untuk hidup sederhana dan berkelanjutan. Atau akun – akun tentang keuangan dan kisah sukses para investor.
Bisa juga mengganti komunitas pertemanan.. Emm.. ada loh, teman di sekitar kita yang gaya hidupnya suka belanjaaaaa terus. Semua haul dia tonton, semua barang diskon dia beli. Ada kan pasti?
3. Fokus Pada Tujuan Hidup
Tujuan saya hidup sederhana adalah supaya saya bisa menikmati kehidupan saya sendiri, lebih banyak waktu bersama keluarga dan mengurangi multitasking. Sebelum menjadi ibu, saya adalah tipe pengejar prestasi. Tidak terlalu work-aholic namun termasuk orang yang menyukai tantangan baru. Setelah ada Lukas, saya merasa bahwa, pencarian saya terhadap hal- hal ‘normatif’ masyarakat perkotaan sudah cukup. Jabatan bagus, gaji gede, punya rumah dan mobil, debt free, bisa traveling ke luar negeri. Apalagi? Sampai tiba masa pandemi yang membuat saya tersadar bahwa pencapaian saya sebelumnya menjadi tidak berarti ketika saya merasakan bahwa kebahagiaan saya itu ada di rumah bersama keluarga, menghabiskan banyak waktu bersama anak tercinta.
4. Ciptakan Tradisi Baru
Tradisi biasanya dibuat oleh sebuah keluarga. Seperti saya waktu Sekolah Dasar dulu, setiap kali naik kelas, bapak saya akan membelikan tas dan sepatu baru untuk saya dan adik. Begitu sudah SMP dan SMA (apalagi kuliah) sudah gak pernah lagi. Mungkin karena nilai saya jelek dan gak pernah juara 1 hihi..
Apa yang dilakukan oleh bapak saya ini adalah sebuah reward. Bahwa setiap ada pencapaian yang bagus, maka kita pantas mendapatkan hadiah yang biasanya berupa barang. Yah seperti kado ulang tahun deh. Sampai ketika saya beranjak dewasa, saya menyadari bahwa reward itu tidak harus selalu sebuah barang.
Dan memang begitulah adanya, ternyata saya sudah mempunyai barang lebih dari cukup, sesuai kebutuhan dan sesuai value. Tradisi baru yang saya dan suami ciptakan di keluarga kami adalah memperkaya diri dengan upgrade skill dan experience. Itulah sebabnya, kami ingin mengajak Lukas traveling kemana saja, supaya Lukas mendapatkan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang tidak bisa didapatkan dari sebuah benda.
5. Belajar Cukup
Cukup bagi setiap orang jelas berbeda. Bagi keluarga saya yang hanya ada 3 orang, makan pizza seloyang itu cukup. Namun untuk keluarga yang isinya 5 orang, seloyang pizza jelas kurang.
Belajar cukup sebetulnya melatih kita untuk hidup wajar, tidak berlebihan, makan berlebihan saja bisa bikin badan kita juga berlebih beratnya kan?
Mengapa hidup sewajarnya? Kita, manusia hidup berdampingan dengan makhluk hidup lain dan alam semesta dalam sebuah ekosistem. Namun terkadang, kebiasaan konsumsi manusia yang berlebihan juga memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Sesungguhnya, gerakan minimalisme dan living zero waste itu bukan untuk menyelamatkan bumi, namun untuk menyelamatkan kita, umat manusia.
Semoga memberikan inspirasi yaa…
cheers ^^