Hi!
Setelah sekitar 7 bulan menjadi ibu rumah tangga (beneran ibu yang mengasuh anak dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga lho ini..), saya menyadari bahwa menerapkan minimalisme sudah tidak lagi relevan dalam kehidupan saya.
Mengapa?
Pertama, minimalisme yang saya adopsi sebelumnya bertujuan untuk hidup debt free alias bebas hutang KPR. Saat ini, hutang KPR bukan lagi menjadi isu utama di keluarga kami. Karena sudah lunas.
Kedua, mengasuh anak sekaligus mengurus rumah tangga sendirian itu tidak mudah. Sangat tidak mudah apalagi untuk saya yang 14 tahun terbiasa punya rutin pekerjaan 9 to 5. Butuh kesederhanaan dalam berpikir dan bertindak supaya tetap waras ;).
Ketiga, saya merasa ribet sendiri mau meraih ‘the perfect minimalism’, yang sebetulnya tidak ada. Saya terlalu fokus pada rumah yang less clutter, padahal sejatinya tidak ada rumah yang less clutter, apalagi jika penghuninya anak usia 3,5 tahun.
Lalu apa yang saya lakukan atau terapkan supaya saya tetap bisa menjalani kehidupan yang valuable dan meaningful?
Hello Simplicity
Menurut kamus bahasa Inggris diatas yang saya cari lewat Google, saya akan mengambil definisi ‘simplicity’ yang pertama.
Saat ini, kebutuhan saya sebagai ibu adalah kesederhanaan dalam menjalani rutinitas sehari – hari, tanpa melupakan tujuan dan value hidup. Simplicity atau kesederhanaan yang mencakup pola pikir, kegiatan beberes yang ringkas, pakaian yang sederhana namun bikin percaya diri, kegiatan bersama anak yang membuat hati gembira (bagi Lukas dan saya sendiri) dan masih banyak lagi aspek – aspek kehidupan yang bisa disederhanakan.
Bagaimana caranya untuk bisa mencapai kesederhanaan itu? Berikut saya bagikan beberapa tips untuk menemukan kesederhanaan dalam hidup.
- Fokus pada Diri Sendiri dan Keluarga
Pakailah kacamata kuda, berhentilah melihat infotainment, jangan over consume Instagram dan unfollow akun atau influencer yang punya pengaruh buruk terhadap tujuan hidup kita. Terus terang sejak menjadi ibu dirumah, saya jarang pegang handphone. Jarang buka Instagram karena memang sudah tidak menarik lagi bagi saya.
Puji Tuhan, keputusan saya untuk mengasuh Lukas secara langsung membuahkan hasil. Dia bisa mandiri dan punya empati pada sesamanya. Pernah suatu kali temannya main kerumah dan menangis ketika dijemput ibunya, karena masih mau main sama Lukas. Yang Lukas lakukan adalah berlari mengambil tissue dan mengelap air mata temannya itu.
Suami saya juga jadi lebih tenang dalam bekerja karena anaknya bersama ibunya, bukan bersama babysitter. Sehingga suami saya bisa fokus pada pekerjaannya, dia jadi mempunyai performa yang baik dan mendapatkan promosi jabatan.
Disinilah saya meyakini bahwa rejeki yang hilang akan digantikan berkali – kali lipat jika kita berserah dan mengikuti kehendak Tuhan.
2. Kelilingi Diri Kita dengan Orang – orang Sederhana
Hal yang saya sukai dari dulu adalah komunitas gereja. Ibadat bersama, membuat event bersama dan ziarah doa bersama. Sayangnya, pandemi memberikan jarak bagi kami jemaat gereja, sehingga tidak bisa berkumpul dan bertatap muka secara langsung.
Puji Tuhan sekarang kami para jemaat gereja sudah bisa berkumpul bersama untuk acara – acara keagamaan.
Saya suka berada di lingkungan jemaat gereja ini, meskipun saya dan suami menjadi yang paling muda diantara mereka, justru kami berdua jadi banyak belajar tentang hidup sesuai Kitab Suci dan ajaran Kristiani dari opa oma di lingkungan gereja.
Orang – orang ini sangat sederhana, berpakaian sederhana, hidangan makan sederhana, tutur kata dan pola pikir yang sederhana. Berkumpul bersama saudara seiman juga bisa saling sharing iman, hal ini membuat saya dan suami jadi selalu penuh syukur, karena kami jadi lebih mengenal Tuhan lewat orang – orang ini.
Ketika kita dipenuhi rasa syukur setiap hari, maka kita tidak akan menginginkan milik orang lain. Itulah kesederhanaan.
3. Hindari Multitasking
Saat ini, dunia menuntut kita, manusia menjadi serba cepat. Mungkin itu sebabnya ada mie instan kali ya, biar masaknya cepet gitu. Jika ingin bersaing dengan manusia lain dan teknologi, mau tidak mau kita memang harus serba cepat. Sehingga menimbulkan yang namanya multitasking.
Multitasking sebetulnya tidak terlalu baik untuk dilakukan sebagai rutinitas atau kebiasaan. Beberapa kondisi bisa memperlambat fungsi otak manusia, menimbulkan kelelahan karena merasa kewalahan melakukan beberapa kegiatan dalam satu waktu (zoom meeting sambil nyuapin anak, hayo hayo…), tidak optimal hasilnya dan pasti akan ada yang terlupakan.
Dalam jangka waktu yang lama bisa menimbulkan penyakit yang aneh – aneh, seperti autoimun, PCOS, syaraf kejepit, ada aja pokoknya. Yang sebetulnya semua penyakit itu muncul karena ketidak seimbangan hormon dalam tubuh kita.
Multitasking sudah tidak memberikan ‘spark joy’ bagi saya, apalagi sekarang saya ada kewajiban menjadi orang tua. Puji Tuhan saya memiliki kesempatan untuk berhenti bekerja kantoran dan menjadi ibu rumah tangga.
Sekarang saya bisa menikmati hidup perlahan dan berkesadaran, karena sedikit demi sedikit bisa menerapkan monotasking. Saya bisa memasak di pagi hari, menemani Lukas main sepeda bolak balik kompleks, mengantar Lukas sekolah (dan mempunyai teman baru ibu – ibu lain), membaca buku, menulis blog, dan menemani Lukas tidur siang (saya suka ikutan tidur siang).
Hidup sederhana bisa kita terapkan jika kita hanya fokus pada tujuan hidup kita dan tidak terpengaruh oleh tipu muslihat dunia gemerlap.
Semoga memberikan inspirasi yaa..
Cheers ^^