Joy Of Missing Out (JOMO)

Joy Of Missing Out (JOMO)

Hi!

JOMO adalah kebalikan dari FOMO (Fear of Missing Out), dimana kalau FOMO itu orang – orang takut akan ketinggalan hype dan trend, JOMO justru rasa bahagia karena tidak menjadi bagian dari hype itu sendiri.

Hari ini tepat setahun saya putus hubungan dengan Instagram. Putus hubungan maksudnya uninstall aplikasi dari handphone dan sign out juga. Sampai saya sadari saya lupa password login-nya hehe..

Motivasi saya untuk putus ada banyak, salah satunya adalah saya mulai gak fokus dengan kehidupan saya sendiri dan terbuai dengan indahnya feed di Instagram. Dan ini menjadi salah satu introspeksi saya di tahun 2020.

Awal mula saya bergabung di Instagram adalah saat saya punya Iphone 4S yang dibeli tahun 2012 dengan harga 7,5 juta. Waktu itu Instagram exclusive hanya ada di iOS. Saya pikir, karena Instagram itu hanya diinstall di iOS, harapan saya, audience nya juga kesaring gitu. Ibarat nonton konser yang tiketnya seharga jutaan penontonnya pasti orang – orang tertentu (yang punya duit banyak). Unfortunately not...

Setahun tanpa Instagram (saya sudah lama meninggalkan Facebook), inilah yang bisa saya ceritakan.

  1. If You Don’t See It, You Don’t Want It

Kebalikan dari jargon Julius Caesar : Veni, Vidi, Veci (saya datang, saya melihat, saya menang/taklukan). Jika kita tidak melihat sebuah barang atau tempat hits dari feed Instagram, maka kita tidak akan menginginkannya. Karena kita tidak tahu barang itu ada. Tempat nongkrong yang IG-able, temen yang posting lagi di kondangan pakai bajunya Sapto Djoko Kartiko, tas yang dibawa artis pemenang FFI, sepatunya Emma Watson, semua hal yang bikin kita jadi kepo dan berakhir browsing lalu impulsive buying. (Satu lagi.. Nicholas Saputra yang makin eye candy..haha..)

Saya masih membeli tas atau sepatu baru, tapi itu karena saya butuh, bukan karena saya pengen gara – gara lihat di feed Instagram.

2. Story Behind The Fake Feed

Ini adalah salah satu kenyataan yang bikin saya burn out. Suatu hari saya melihat teman saya posting foto bertiga sama suami dan anaknya, kembaran pakai sepatu VANS. Sementara teman saya itu belum mengembalikan uang yang dia pinjam dari saya. Bukan bermaksud mengungkit aib orang, namun inilah kenyataan dibalik manisnya gambar di Instagram. Dibalik foto kompakan sama keluarga, ada hutang yang belum terbayarkan. Dibalik postingan naik pesawat business class ke Eropa, ada uang sekolah anak yang belum dibayarkan. Saya khawatir kelak society (masyarakat) kita sudah terbuai dengan kehidupan sempurna selayaknya feed Instagram. Sehingga berhutang menjadi hal wajar. Lihat saja makin marak muncul aplikasi pinjaman online baik legal maupun ilegal, yang membuat masyarakat beranggapan bahwa mencari pendapatan itu bisa dengan berhutang bukan bekerja.

3. Too Much Information Might Kill You

Sudah sebagai konsekuensi hidup di era internet dan digital, bahwa kita akan mudah terpapar dengan berbagai macam informasi, entah itu real news atau HOAX. Kita memang perlu lebih cerdas lagi menyikapi kultur ini. Sebagai ibu baru, saya merasa clueless dengan masalah parenting, apalagi suami termasuk yang woles-woles aja gitu. Saya mencari berbagai macam informasi tentang tumbuh kembang anak, berbagai macam akun IG tentang parenting saya follow, tapi ternyata informasi yang disampaikan akun – akun tersebut berbeda beda (metode dan ilmunya). Hal ini membuat saya bingung harus ikut yang mana, sementara di depan saya ada anak balita yang mungkin hanya butuh ibunya hadir dan fokus pada anaknya sendiri, bukan mencari metode – metode paling tepat dalam ilmu parenting. Itulah sebabnya saya meninggalkan akun – akun ini dan mulai real parenting dengan praktek langsung ke Lukas.

4. You Know What You Want

Yes! Indeed. Perlahan saya menemukan apa yang sebetulnya memang saya inginkan dan mempunyai nilai untuk hidup saya. Saya kembali membaca buku dan menulis (passion yang ternyata memang saya sukai dari dulu), blog ini salah satu terapi saya untuk self healing. Menciptakan channel Youtube juga salah satu cara saya untuk berkarya menebarkan kabar gembira tentang kehidupan yang sederhana.

Saya tahu apa yang saya mau. Saya mau hidup sewajarnya saja tanpa peduli gemerlap dunia. Low impact living, apalagi saya putus dari Instagram juga pas masa pandemi, jadi makin mau bertobat. Bahkan saya punya cita – cita punya green house / kebun hidroponik di Jogja. Sometimes you just need a simple life to be happy.

5. I’m Happier and Healthier

Terkadang mindless scrolling Instagram itu sebagai pelarian karena saya tidak bahagia dengan kondisi di rumah atau tempat kerja. Karena banyaknya pekerjaan rumah yang terbengkalai dan tidak ada yang bantuin, karena pekerjaan kantor sedang overload. Macam – macam. Meskipun sekarang pekerjaan di rumah itu tetap banyak, namun saya bisa menyelesaikannya karena saya bisa mengatur jadwal dengan baik. Kenapa? Karena saya melakukan tugas saya, bukan malah duduk diam melihat kebahagiaan orang lain.

Karena sebagai manusia letaknya envy dan jealous, maka Instagram menjadi sarana yang tepat untuk makin menderita dengan membandingkan kekurangan kita dengan kelebihan orang lain. Padahal bisa jadi orang lain itu justru lebih menderita ketika melihat kehidupan kita yang tampak biasa saja.

Saya sekarang lebih bahagia karena biarpun mobil saya Yaris 2013 namun saya sudah bebas cicilan apapun baik KPR maupun mobil. Keluarga saya gak kesulitan di masa pandemi karena sudah siap finansial. Kami masih bisa jajan Pizza atau bakso di weekend.

6. Disconnected to Reconnected

Terkadang kita merasa tehubung atau tahu pribadi seseorang hanya karena lihat dia/mereka dari Instagram. Sementara ada orang yang tadinya kita kenal, namun jadi seperti orang asing ketika bertemu : keluarga.

Menghabiskan waktu sepuluh sampai sebelas jam setiap weekdays untuk membangun dinasti orang, membuat kita menjadi lupa dengan siapa yang seharusnya kita menjalin komunikasi? Siapa yang sebetulnya membutuhkan waktu lebih banyak dari kita? anak? Istri? Suami? Orang tua?

Saya menikmati ketika weekend bisa bodo amat sama handphone. Bahkan kalau perlu biar aja handphone ada di laci di kamar seharian sampai low bat. Oh actually, saya dan suami sepakat membuat hari tanpa handphone di hari minggu. It’s a great idea for us. Terutama supaya kami bisa fokus bermain bersama Lukas saja.

Well, itu tadi tadi beberapa hal yang ingin saya sharing tentang pengalaman setahun tanpa Instagram. Mungkin lumayan personal, karena memang setiap orang mempunyai sudut pandang dan pengalaman yang berbeda.

Semoga memberikan inspirasi yaa..

Cheers ^^

Back to Top